Lebaran Topat

TRADISI lebaran tidak hanya sebatas ajang silaturrahmi, tetapi telah tumbuh menjadi ajang rekreasi keluarga, bahkan menjadi salah satu aset daya tarik wisata. Kemasan yang menarik akan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar sehingga lebaran menjadi lebih bermakna.

Sama halnya dengan lebaran ketupat yang diberbagai daerah di Nusantara memiliki kekayaan sesuai kreatifitas masyarakatnya. Momentum sepekan sesudah hari raya Idul Fitri itu menjadi pusat berbagai kegiatan masyarakat.

Tradisi berlebaran menjadi milik masyarakat dari Sabang hingga Merauke, kekayaan tradisi yang berkembang massal dapat menjadi ajang pemberdayaan bagi masyarakat. Sedikit kemasan yang mendapat dukungan dari pemerintah daerah akan menjadi momen penting bagi masyarakat, baik para perantau yang kembali ke kampung halaman maupun masyarakat sekitarnya.

Diawali dengan Idul Fitri yang menjadi puncak tradisi masyarakat Nusantara, diikuti dengan budaya yang sangat kaya akan makna. Di sana terdapat berbagai bentuk ungkapan kasih sayang, silaturrahmi dengan banyak variasi sesuai apresiasi masyarakatnya.

Lebaran Topat merupakan tradisi masyarakat Lombok sejak ratusan tahun silam dan diadakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri diberbagai tempat terutama di Batulayar. Bukan saja objek wisata pantai melainkan berbagai tempat yang memiliki daya tarik sesuai kharakteristik masyarakatnya. Anak-anak muda biasanya lebih menyukai tantangan sehingga memilih objek di gunung-gunung tinggi.

Di hadapan ribuan masyarakat Lombok yang merayakan Lebaran Topat, dia menjelaskan, dzikir dan doa diharapkan dapat memberikan kekuatan sehingga dapat menghadapi permasalahan bangsa yang akhir-akhir ini semakin kompleks.

LEBARAN Topat juga bisa diartikan menjauhkan diri dari nafsu kebendaan dan membersihkan batin dari perbuatan sirik dan dengki setelah nuraninya terjerembab oleh ego dan kemeriahan budaya materi yang semu.

Artinya manusia harus kembali ke fitrahnya, seperti menyeimbangkan kebutuhan materi dengan spiritual. Itu disimbolkan dengan beseraup, biar kotoran yang melekat di wajah dibersihkan oleh air yang digunakan untuk raup tadi, sehingga manusia tidak sakit secara fisik dan mental. Bisa jadi pula ketupat yang berbentuk empat persegi yang menyiratkan asal muasal manusia yang terdiri air, tanah, api dan angin.

Karena itu, pula, dari aspek sosial, Lebaran Topat berarti otokritik dan introspeksi bagi manusia untuk mendapatkan jati diri setelah menempuh perjalanan hidup selama satu tahun. Misalnya melalui komunikasi antarsesama (berjabat tangan sembari bermaafan, saling mengingatkan agar tetap peka terhadap lingkungan. Ibarat sesenggak Sasak, dendek ipuh pantok gong’, (tak usah segan memukul/membunyikan gong). Itu mengajarkan manusia agar mengoreksi diri, di antaranya terbuka terhadap saran dan kritik orang lain.

Kepekaan terhadap lingkungan itu, seperti diucapkan Emi Suhaemi, “Selama ini, usai acara protokoler, ada yang nganget (mengunyah) dan ada yang ngengat (melihat)”. Pengalaman sebelumnya, setelah acara resmi yang dihadiri para pejabat dan undangan lainnya, disuguhkan rupa-rupa hidangan makanan khas, sementara warga sekitar obyek wisata maupun pengunjung lain hanya menonton “orang makan”. Maka setelah melalui pengamatan dan evaluasi, panitia mengundang anak yatim untuk ikut berbagi rasa makanan yang dihidangkan.

Kepekaan sosial yang terus terasah itu setidaknya menghindari timbulnya pengkotak-kotakan jurang kaya-miskin dan aneka perbedaan yang oleh kalangan tertentu suka-suka memprovokasi keberagaman itu untuk tujuan tertentu pula.

Tradisi-tradisi itu terus diimplementasikan sebagian besar rakyat kecil di pedesaan. Agaknya paradoks dengan kehidupan di perkotaan, seperti kalangan eksekutif dan legislatif yang kerap menyuarakan pemberdayaan masyarakat. Justru para elite itulah yang perlu diberdayakan agar tidak mempersoalkan aturan hukum masalah korupsi, kolusi dan nepotisme.