Banjir lumpur panas Sidoarjo 2006

Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006, merupakan kasus menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.

Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur “kebetulan” terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui.

Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman, dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

Sealanjutnya bisa dibaca di sini

Mengenang G 30S PKI

SETELAH Orde Baru tumbang, debat tentang G-30-S/PKI seakan tidak pernah berhenti. Ia terus menjadi kontroversi. Tetapi, ada kecenderungan mereka yang semula meyakini PKI menjadi dalang Gerakan 30 September 1965, mulai mengendur. Atau sekurangnya mereka seperti cukup berkata dalam diam. Sementara suara yang menolak atau tak percaya keterlibatan PKI makin nyaring.

Negara juga cenderung bersikap pasif. Kini selama reformasi, misalnya, setiap 30 September tak ada lagi aktivitas negara mengibarkan bendera setengah tiang tanda perkabungan nasional. Para guru di sekolah juga tak lagi segairah dulu menjelaskan kejahatan PKI. Zaman memang telah berubah, juga pandangan-pandangan masyarakatnya tentang hal-hal yang dulu dianggap ‘luar biasa’. PKI kini memang tak lagi dianggap ‘monster’. Ia sebagai ideologi yang dibicarakan biasa-biasa saja.

Sejarah di mana pun memang sering melahirkan perdebatan tiada henti. Ia bisa menjadi amat subjektif tergantung dari mana melihatnya. Karena itu, sering pula batas antara pahlawan dan pengkhianat hanya terpisah oleh batas yang amat tipis, yakni pergantian rezim atau politik. Tetapi, apa pun alasannya, sebuah bangsa mestinya mempunyai sejarah yang ditulis dengan jujur. Dan, inilah wilayah para sejarawan untuk menggarapnya.

Dari berbagai diskusi yang mengemuka dan beberapa buku yang telah ditulis mengenai G-30-S/PKI sekurangnya ada empat kemungkinan yang mungkin terjadi. Pertama, peristiwa itu memang benar-benar didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Argumentasinya, komunisme memang punya tradisi merebut kekuasaan. Terlebih waktu itu partai ini amat kuat hingga mampu menyelusup memengaruhi tentara.

Kedua, merupakan kudeta halus Pak Harto kepada Bung Karno. Untuk memberi legitimasinya, kemudian Soekarno diminta mengalihkan kekuasaan kepada Soeharto lewat Surat Perintah 11 Maret. Sayangnya, benda ini hingga kini masih menjadi misteri, entah di mana disimpan. Atau boleh jadi memang tidak ada.

Ketiga, rekayasa Soekarno yang waktu itu tidak suka kepada para jenderal, terutama jenderal Angkatan Darat. Keempat, keterlibatan lembaga intelijen asing, khususnya Amerika, yakni CIA. Amerika punya kepentingan Soekarno jatuh karena waktu itu sang Presiden dinilai amat dekat dengan poros komunis.

Kini, siapa pun bisa dan boleh meyakini kemungkinan mana yang paling benar. Tapi, sekali lagi, bangsa ini butuh sejarah yang jujur. Sejarah yang jujur akan membuat bangsa ini menjadi kian dewasa dan tidak menjadi beban generasi yang lahir kemudian.

Penguakan misteri G-30-S/PKI bukan untuk meneruskan dendam, tetapi justru agar kita bisa belajar dari masa silam. Belajar dari kesalahan masa silam juga bisa meningkatkan kualitas kita sebagai bangsa.***