Kudeta di Thailand

KEKUASAAN Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra akhirnya direbut paksa. Kelompok militer pimpinan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Sonthi Boonyaratglin, Selasa (19/9/06) malam, mengambil alih kekuasaan PM Thaksin yang tengah berada di New York, Amerika Serikat. Ia berada di negeri itu untuk mengikuti Sidang Majelis Umum PBB.

Pihak militer menguasai seluruh kantor pemerintahan dan sejumlah kantor media massa di pusat kekuasaan, Bangkok, dan sekitarnya. Kabinet, parlemen, senat, konstitusi, dan mahkamah konstitusi dibekukan. Mereka juga membentuk Dewan Reformasi Politik dan menangkap sejumlah pejabat tinggi yang loyal kepada Thaksin, termasuk wakil PM dan menteri pertahanan.

Kudeta itu dilakukan tanpa perlawanan dan terjadi hanya beberapa jam setelah PM Thaksin memecat Jenderal Sonthi dan memberlakukan keadaan darurat. Menurut pihak militer, pengambilalihan kekuasaan itu untuk mencegah agar negara dan bangsa tidak jatuh ke jurang perpecahan dan kehancuran.

Kudeta di Thailand memang bukan hal baru. Di ‘Negeri Gajah Putih’ itu kudeta memang seperti sebuah tradisi. Pada saat politikus tidak becus memerintah dan kebijakannya membahayakan keutuhan negara, pihak militer kerap tampil di garda terdepan.

Namun, kudeta Selasa lalu mengejutkan banyak pihak. Sebab, sudah 15 tahun belakangan ini Thailand terbebas dari kudeta. Pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer terakhir kali terjadi pada Februari 1991 saat Jenderal Sunthon Kongsomphong menjungkalkan pemerintahan Perdana Menteri Chatchai Choonhavan.

Sejak itu, apalagi setelah Raja Bhumibol Adulyadej mendesak militer menegakkan demokrasi, kudeta menjadi hal yang tabu. Militer Thailand lantas berusaha menjaga jarak dengan kehidupan politik. Namun, krisis politik yang terjadi hampir setahun ini akhirnya memaksa militer kembali terjun ke arena politik.

Krisis politik di Thailand mulai muncul setelah Thaksin, yang berkuasa sejak 2001, ingin tampil kembali sebagai perdana menteri untuk periode kedua. Meski memenangi Pemilu Februari 2005, partainya–Thai Rak Thai–gagal memenuhi kursi parlemen seperti yang disyaratkan konstitusi. Gelombang unjuk rasa menentang Thaksin mulai menguat sejak Desember 2005.

Krisis politik sempat mereda ketika pada April lalu Thaksin menyatakan mundur dari jabatan PM kendati dia meraih suara terbanyak dalam Pemilu 2 April 2006. Tapi, pertikaian kembali berkecamuk karena Thaksin ternyata tak melepaskan jabatan PM hingga kudeta Selasa lalu.

Buat kita, bangsa Indonesia, kudeta di Thailand juga sungguh mengejutkan. Di era globalisasi ini, sepantasnya pengalihan kekuasaan pemerintahan dilakukan lewat cara-cara demokratis. Bukan lewat pengambilalihan secara paksa. Tetapi, sepantasnya juga para pemimpin harus membuka mata dan telinga untuk menangkap keinginan dan aspirasi rakyatnya. Bila rakyat menginginkan mundur, mereka harus berani menyatakan mundur ketimbang negara hancur.